Ahad, 18 Disember 2011

Biografi Imam Ahmad bin Hanbal, Teladan dalam Semangat dan Kesabaran

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Ahmad bin Hanbal adalah seorang tauladan dalam 8 hal: tauladan dalam bidang hadits, fiqih, bahasa arab, Al-Qur’an, kefakiran, zuhud, wara’ dan dalam berpegang teguh dengan sunnah Nabi shalallahu’alaihi wa sallam.

Kunyah dan Nama Lengkap beliau rahimahullah

Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin Anas bin ‘Auf bin Qosith bin Mazin bin Syaiban Adz Dzuhli Asy-Syaibani Al-Marwazi Al-Baghdadi.

Lahir pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 Hijriyah di kota Marwa. Beliau lebih dikenal dengan Ahmad bin Hanbal, disandarkan kepada kakeknya. Karena sosok kakeknya lebih dikenal daripada ayahnya. Ayahnya meninggal ketika beliau masih berusia 3 tahun. Kemudian sang ibu yang bernama Shafiyah binti Maimunah membawanya ke kota Baghdad. Ibunya benar-benar mengasuhnya dengan pendidikan yang sangat baik hingga beliau tumbuh menjadi seorang yang berakhlak mulia.

Perjalanan beliau dalam menuntut ilmu

Sungguh mengagumkan semangat Al-Imam Ahmad bin Hanbal di dalam menuntut ilmu. Beliau hafal Al-Qur’an pada masa kanak-kanak. Beliau juga belajar membaca dan menulis. Semasa kecil beliau aktif mendatangi kuttab (semacam TPA di zaman sekarang).
Kemudian pada tahun 179 Hijriyah, saat usianya 15 tahun, beliau memulai menuntut ilmu kepada para ulama terkenal di masanya. Beliau awali dengan menimba ilmu kepada para ulama Baghdad, di kota yang ia tinggali.

Rabu, 7 Disember 2011

FATWA ULAMA TENTANG HARAMNYA HIZBIYAH [BERPARTI-PARTI]

Oleh: Markaz al-Imam al-Albani

Pertanyaan : Apa hukum berbilangnya jama’ah (hizbiyah) dan kelompok didalam Islam, dan apa hukum berafiliasi padanya?

[1]. Lajnah Da`imah lil Ifta’ (Komite Tetap Urusan Fatwa) yang diketuai oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu yang beranggotakan : Syaikh Abdur Razaq Afifi Rahimahullahu, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan Syaikh Abdullah bin Hasan bin Qu’ud menjawab tentang haramnya hal ini di dalam fatwa no 1674 (tanggal 7/10/1397) sebagai berikut :

“Tidak boleh memecah belah agama kaum muslimin dengan bergolong-golongan dan berpartai-partai… karena sesungguhnya perpecahan ini termasuk yang dilarang oleh Allah, dan Allah mencela pencetus dan pengikut-pengikutnya, serta Allah janjikan pelakunya dengan siksa yang pedih. Allah Ta’ala berfirman :

“Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” [Ali Imran : 103]

Dan firman-Nya :

“Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” [Ali Imran 105]

PERKATAAN PARA ULAMA TENTANG INTISAB KEPADA SALAF

 [1]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Tidak ada cela bagi orang yang menampakkan madzhab Salaf, menisbahkan diri kepadanya, dan membanggakannya, bahkan wajib diterima semua itu darinya dengan kesepakatan ulama. Karena sesungguhnya madzhab Salaf adalah haq, jika dia sesuai dengan Salaf secara lahir dan batin, maka dia seperti seorang mukmin yang di atas kebenaran secara lahir dan batin” [Majmu Fatawa 4/149]

[2]. Al-Hafizh Adz-Dzahabi sering menyebutkan nisbah kepada Salaf (As-Salafi) ketika menyebutkan biografi para ulama.
Ketika menyebutkan biografi Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawi dalam Siyar A’lamin Nubala (13/183) berkata : “Aku tidaklah mengetahui Ya’qub Al-Fasawi kecuali seorang Salafi”.

Ketika menyebut biografi Muhammad bin Muhammad Al-Bahrani beliau berkata : “Dia adalah seorang yang beragama baik dan seorang Salafi” [Mu’jam Syuyuh no. 843]

Ketika menyebutkan biografi Al-Imam Daruquthni beliau mengatakan ; “Dia tidak pernah masuk sama sekali dalam ilmu kalan dan jadal, bahkan dia adalah seorang Salafi” [Siyar 16/457]

Ketika menyebutkan biografi Abu Thahir As-Silafi beliau mengatakan : “As-Silafi diambil dari kata As-Salafi yaitui yang berjalan di atas manhaj Salaf”. [Siyar 2 1/6]

Ketika menyebutkan biografi Al-Hafizh Ibnu Shalah beliau mengatakan : “Dia adalah seorang Salafi, bagus aqidahnya …” [Tadzkiratul Huffazh 4/1431]

Selasa, 6 Disember 2011

Kaidah-Kaidah Memahami Sifat-Sifat Allah Yang Mulia (Seri II)


Kaidah ketiga, Dalam mengimani sifat-sifat Allah harus waspada terhadap dua penyimpangan; tamtsiil (penyerupaan) dan takyiif (membayangkan bentuk).

Tamtsiil adalah menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Seperti mengatakan bahwa pendengaran Allah seperti pendengaran manusia.

Adapun Takyiif adalah menggambarkan bentuk sifat Allah tetapi tanpa menyerupakan dengan sifat makhluk.

Dalam mengimani segala sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Alquran dan hadits-hadits yang shahih kita tidak boleh menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk. Tanpa terkecuali satupun dari sifat-sifat tersebut. Demikian pula tidak boleh membayangkannya dengan akal pikiran kita tentang bentuk dan hakikat sifat-sifat tersebut. Karena bagaimanapun kita membayangkannya sesungguhnya sifat Allah jauh lebih sempurna dari apa yang kita bayangkan.

Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya,
{فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ} [النحل/74]

“Maka janganlah kalian membuat perumpamaan-perumpamaan bagi Allah.”

Berkata Ibnu Jariir Ath Thabary, “Maka janganlah kamu menjadikan bagi Allah misal-misal (tertentu). Dan jangan pula menjadikan bagi-Nya rupa-rupa (tertentu). Sesungguhnya tiada bagi Allah perumpamaan dan peyerupaan.”

Dalam ayat lain Allah katakan,
{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ} [الشورى/11]

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Allah), dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.”

Diterangkan oleh Ibnu Jariir ath Thabary dan Al Baqhwy, dalam ayat ini ada dua pengertian, salah satunya ,Allah tidak menyerupai sesuatu. Kedua, tiada sesuatupun yang menyerupainya.(Lihat tafsir Ath Thabari, 21/507, dan tafsir Al Baqhwy, 7/186.)

Kaidah-Kaidah Memahami Sifat-Sifat Allah Yang Mulia (Seri I)

Sesungguhnya Alquran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat banyak sekali menyebutkan tentang sifat-sifat Allah. Maka dari itu selayaknya kita sebagai seorang muslim mengeti dan memahami sifat-sifat tersebut sesuai dengan kebesaran Allah tanpa mengingkari dan tidak pula menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk. Serta kita mampu mengambil pelajaran imaniyah dan amaliyah dari makna sifat-sifat Allah tersebut. Dengan demikian kita akan mampu meningkat kualitas ibadah kita meraih nilai peringkat ihsan, yaitu beribadah seolah-olah kita menlihat Allah.


Tentu hal tersebut bisa kita raih apabila kita memahami sifat-sifat Allah tersebut sesuai dengan dengan pemahaman para sahabat dan ulama-ulama terkemuka yang mengikuti jejak mereka dari kalangan umat ini. Yaitu pemahaman para ulama Ahlussunnah Waljama’ah. Agar kita selamat dari dua bahaya dalam memahami sifat-sifat Allah tersebut; yaitu bahaya ta’thiil (pengingkaran) dan bahaya tasybiih (penyerupaan).

Dari sini betapa pentignnya bagi kita untuk mengetahui kaidah-kaidah yang disebutkan oleh para ulama dalam memahami sifat-sifat Allah tersebut. Dalam bahasan kali ini kami mencoba menyebukan kaidah-kaidah tersebut sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama Ahlussunnah dalam kitab-kitab mereka.(boleh lihat dalam kitab Attadmuriyah dan Fatawa al Hamawiyah syeikh Islam Ibnu Taimiyah, Manhaj wa dirosat li ayat asmma’ was sifat syeikh Muhammad Amin Syangqithy, Mu’taqad Ahlussunnah wal jama’ah fi tauhid Asmaa’ was sifat Prof. Dr. Muhammad bin khalifat Attamimy.)

Kaidah pertama: Sifat-sifat Allah adalah tauqifiyah (harus ada dalil yang menyatakannya).

Ahad, 4 Disember 2011

Fatwa-Fatwa Ulama Terhadap Ikhwan Muslimin


1. Fatwa Al-Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah

Beliau berkata:
حركة الإخوان المسلمين ينتقدها خواص أهل العلم لأنه ليس عندهم نشاط في الدعوة إلى توحيد الله وإنكار الشرك وإنكار البدع، لهم أساليب خاصة ينقصها عدم النشاط في الدعوة إلى الله وعدم التوجيه إلى العقيدة الصحيحة التي عليها أهل السنة والجماعة. فينبغي للإخوان المسلمين أن تكون عنايتهم بالدعوة السلفية الدعوة إلى توحيد الله وإنكار عبادة القبور والتعلق بالأموات والاستغاثة بأهل القبور كالحسين والحسن أو البدوي أو ما أشبة ذلك
“Harakah Ikhwanul Muslimin telah dikritik oleh para ulama kerana mereka tidak mempunyai semangat untuk berdakwah kepada mentauhidkan Allah Ta’ala, mengingkari kesyirikan dan bid’ah, mereka mempunyai metode-metode khusus yang menguranginya untuk tidak bersemangat dalam dakwah kepada Allah dan tidak mengajak kepada aqidah yang benar yang merupakan jalan Ahli Sunnah Wal Jamaah. Maka hendaklah Ikhwan Muslimin memberi perhatian terhadap dakwah salafiyah iaitu dakwah untuk mentauhidkan Allah Ta’ala, mengingkari peribadatan kubur, bergantung kepada mayat-mayat, dan beristighasah (meminta pertolongan) dengan penghuni kubur seperti Al-Husin, Al-Hasan, Al-Badawi atau apa-apa yang seperti demikian.” (Al-Majallah, hal 23, edisi 806, 25 safar 1416 hijriah dan Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal 72)


Beliau juga pernah ditanya tentang suatu nas (dalil): Hadis Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam tentang perpecahan umat, baginda bersabda: “Umatku akan berpecah menjadi 73 golongan, semuanya keneraka kecuali satu.” Apakah Jamaah Tabligh dengan apa yang ada pada mereka berupa berbagai-bagai kesyirikan, bid’ah dan Jamaah Ikhwanul Muslimin dengan berkelompok-kelompoknya mereka dan tidak taat serta patuh kepada penguasa, apakah kedua-dua Jamaah ini termasuk 72 golongan yang sesat?

Beliau menjawab:
من خالف عقيدة أهل السنة دخل في الاثنتين والسبعين، "أُمتي" : هي أمة الإجابه الذين استجابوا له وأظهروا الاتباع عنهم له، فثلاثة وسبعين: فرقة ناجية سليمة التي اتبعته واستقامت على دينه، واثنتان وسبعون فرقة فيهم الكافر وفيهم العاصي وفيهم المبتدع أقسام
“Sesiapa sahaja yang menyelisihi aqidah Ahli Sunnah akan masuk ke dalam 72 golongan sesat, sabda baginda “Umatku” adalah umat Ijabah, yakni orang-orang yang menjawab seruan bagiNya dan menampakkan diri bahawa mereka mengikuti (Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam), sehingga ada 73 golongan, satu kelompok yang selamat adalah yang mengikuti Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam dan istiqamah di atas agama baginda. Adapun 72 golongan itu, maka ada di antara mereka yang kafir, pelaku maksiat, ahli bid’ah dan berbagai-bagai.”

Kemudian orang yang bertanya tadi mengatakan: “Apakah dua kelompok ini (Tabligh dan Ikhwan Muslimin) termasuk 72 golongan itu? Maka syeikh menjawab:
إيه ـ أي نعم ـ من الاثنتين والسبعين، بعض أهل العلم يرى الخوارج من الكفار لكن هم داخلون في عموم الاثنتين والسبعين؟
“Ya, termasuk 72 golongan tersebut, sebahagian ulama memandang bahawa kelompok khawarij termasuk orang-orang kafir, namun mereka termasuk dalam keumuman 72 golongan tersebut.” (Dari Kaset As-Ilatun wa Ajwibah)

2. Fatwa Muhaddis zaman ini, Al-Imam Muhammad Nasiruddin Al-Albani rahimahullah

Beliau ditanya: “Apakah manhaj Ikhwanul Muslimin di atas sunnah?
Maka beliau menjawab:

Risalah Syaikh Abdul Mohksin al-Abbad: Antara Musibah Syeikh Al-Qardhawi Adalah Seruannya Ke Arah Meruntuhkan Akhlak Wanita di Negara Dua Tanah Suci

               Dengan nama Allah yang Maha Pemurah, lagi Maha Penyayang



Antara Musibah Syeikh Al-Qardhawi Adalah Seruannya Ke Arah
Meruntuhkan Akhlak Wanita di Negara Dua Tanah Suci
Terjemahan: Abu Omar, Idris bin Sulaiman

Segala puji bagi Allah, Tuhan sekelian alam. Selawat Allah, SalamNya dan BerkatNya ke atas hamba dan RasulNya, Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para Sahabatnya.

Saya telah membaca surat Syeikh Yusof Al-Qardhawi kepada Khadam Dua Masjid Suci Raja Abdullah bin Abdul Aziz – semoga Allah menjaganya serta memberinya petunjuk kepada apa yang diredaiNya – tentang keanggotaan wanita dalam Majlis Al-Syura serta pencalonan dan penyertaan mereka dalam keanggotaan majlis-majlis perbandaran yang telah disiarkan di laman-laman web. Komen saya terhadap kandungan surat ini adalah seperti berikut:

1.    Beliau berkata dalam suratnya, “Wajah-wajah orang Islam telah tersenyum, hati-hati mereka yang beriman telah terbuka dan kami di samping ramai yang lain telah gembira dengan ucapan Tuanku yang bijaksana serta pandangan Tuanku yang tepat untuk membenarkan wanita dicalonkan di semua majlis-majlis perbandaran, daerah dan Majlis Al-Syura.”

Saya tegaskan bahawa mereka yang sebenarnya tersenyum gembira adalah orang-orang Barat dan pengikut-pengikut mereka. Mereka ini telah mendahului            Syeikh Al-Qardhawi dalam mengalu-alukan keputusan ini seperti mana yang telah dilaporkan oleh pihak media. Adapun majoriti masyarakat Arab Saudi yang komited untuk menjaga kehormatan wanita, yang ingin melihat agar kaum wanita mereka terus terjaga maruahnya serta dijauhkan daripada semua sebab yang boleh membawa kepada fitnah sama ada terhadap kaum wanita itu sendiri atau kaum lelaki, mereka telah berdukacita terhadap keputusan ini.

2.    Setelah itu beliau berkata lagi,

Jumaat, 2 Disember 2011

Dalil Al-Quran dan AS-Sunnah tentang keberadaan ALLAH subhanahu wataa'la.


 Allah tidak berhajat kepada makhluk, kita tidak mengatakan Allah berhajat kepada Arasy, cuma dalam Al-Quran jelas Allah mengatakan bahawa Dia beristiwa diatas Arasy, saya harap anda tidak menafikan ayat Al-Quran, kalau menafikan ayat Al-Quran, walaupun satu ayat, maka kufur.
Ayat surah Thaha ayat 5, jelas mengatakan Allah beristiwa diatas Arasy, tanpa perlu Dia berhajat kepada makhluk.


Prinisp asas perbincangan ini mudah, dalil nya adalah Surah As-Syura ayat 11:

Allah berfirman:

لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَىۡءٌ۬‌ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (Asy-Syuraa 42:11)

Dalil AlQuran:

Khamis, 10 November 2011

Sinopsis Singkat Novel Sandiwara Langit(Kisah Nyata Bertabur Hikmah Penyubur Iman)

Sinopsis singkat (bagian warna adalah kutipan dari buku) 

Lelaki Muda yang ingin menikah

“Begini ustadz. Usia saya sekarang baru 18 tahun. Namun terus terang, saya sudah ingin sekali menikah. Saya khawatir terjebak dalam perzinaan, bila saya harus menunda menikah lebih lama lagi.” Tanpa sungkan pemuda itu menceritakan keinginannya. Cerita itu sendiri sejatinya sudah memuat pertanyaan. Namun saya ingin tahu lebih jauh. Saya biarkan dia terus bercerita.

“Saya sadar, saya masih terlalu hijau untuk menikah. Tapi saya lebih sadar, bahwa tanpa menikah, saat ini saya merasa tidak kuat menahan godaan syahwat. Saya telaten puasa dawud satu tahun ini, untuk menjalankan sunnah Rasul. Gejolak itu memang teredam sebagiannya. Namun yang masih tersisa begitu kuat. Dan saya merasa tersiksa. Apa saya sudah layak menikah ustadz?”

Berikutnya terjadi tanya jawab antara pemuda tersebut dan sang ustadz, seputar pernikahan, kondisi pemuda tersebut yang memang belum mapan, dan tidak mempunyai pekerjaan, dan kemauan dari calon mertuanya untuk menikahkan putrinya dengan pemuda yang sudah mapan. Sang ustadz pun menyarankan agar pemuda tersebut memusyawarahkan hal tersebut dengan orang tua sang calon.

Sabtu, 29 Oktober 2011

Dia Wanita Atau Lelaki ???

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menciptakan kaum lelaki dan kaum wanita sebagai dua jenis kelamin yang berbeza. Allah Ta’ala juga telah menetapkan dan menakdirkan bahwa laki-laki tidak sama dengan wanita baik dalam bentuk fizik, keadaan dan penampilannya. Sifat lemah lembut dan cenderung suka berhias merupakan salah satu sifat yang membezakan wanita dengan kaum lelaki. Namun bagaimana kenyataan yang terjadi di zaman ini yang disebut-sebut sebagai zaman moden? Saat ini dengan mudah akan kita jumpai kaum wanita serupa dengan kaum lelaki dalam hal berpakaian, gerakan, suara dan dalam semua hal yang merupakan fitrah bagi lelaki. Demikian pula sebaliknya, banyak kaum laki-laki yang menyerupai wanita. Kaum lelakii tidak mau kalah untuk ikut berdandan sebagaimana dandanan kaum wanita. Lalu bagaimana hukum Islam terhadap hal ini?

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai lelaki.” (HR. Bukhari)

Sabtu, 22 Oktober 2011

Jadilah Lelaki Pertama di Hatinya


قال البجيرمي: وفي البكارة ثلاث فوائد
Al Bijairumi mengatakan, “Menikahi bikr atau gadis itu memiliki tiga manfaat sebagai berikut:

إحداها أن تحب الزوج الاول وتألفه، والطباع مجبولة على الانس بأول مأولف، وأما التي مارست الرجال فربما لا ترضى ببعض
 الاوصاف التي تخالف ما ألفته فتكره الزوج الثان


Pertama, dia akan mencintai dan akrab dengan suaminya yang pertama. Manusia memiliki sifat untuk merasa nyaman dengan hal yang pertama kali yang dia kenal. Sedangkan wanita yang telah berpengalaman dengan banyak laki-laki maka boleh jadi dia tidak suka dengan sebuah sifat atau perilaku yang berbeza dengan perilaku yang telah biasa dia terima akhirnya dia kurang suka dengan suami yang kedua.

Saudariku, Berjilbablah Sesuai Ajaran Nabimu!


Islam adalah ajaran yang sangat sempurna, sampai-sampai cara berpakaian pun dibimbing oleh Allah Dzat yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi diri kita. Boleh jadi sesuatu yang kita sukai, baik itu berupa model pakaian atau perhiasan pada hakikatnya buruk menurut Allah. Allah berfirman,

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu adalah baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal sebenarnya itu buruk bagimu, Allah lah yang Maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al Baqoroh: 216).

Oleh karena itu, marilah kita ikuti bimbingan-Nya dalam segala perkara termasuk mengenai cara berpakaian.

Perintah dari Atas Langit

Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum muslimah untuk berjilbab sesuai syari’at. Allah berfirman,
  “Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu serta para wanita kaum beriman agar mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka mudah dikenal dan tidak diganggu orang. Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al Ahzab: 59)

Jumaat, 7 Oktober 2011

Wanita Solehah Adalah Satu Anugerah Yang Berharga

           Tidak diragukan lagi, memilih pasangan hidup secara tepat merupakan jalan menuju kebahagiaan.

           Dalam musnad Imam Ahmad rahimahullah diriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu, ia berkata. Rasulullahi sallallahu alaihi wasallam bersabda:

" Tiga perkara yang termasuk kebahagiaan seoarang bani Adam dan tiga perkara yang termasuk kemalangaannya. Termasuk tiga perkara kebahagiaan seoarang bani Adam adalah memiliki isteri yang solehah, tempat tinggal yang baik dan kenderaan yang baik. Termasuk tiga kemalangan seorang bani Adam adalah isteri yang buruk, tempat tinggal yang buruk dan kenderaan yang buruk." (HR. Al-Hakim)

          Dalam Shahih Muslim dari hadist Abdullah bin 'Amru radiyallahu anhu bahawasanya Rasulullah sallallahi alaihi wasallam bersabda

"Dunia adalah kenikmatan dan sebaik-baik kenikmatan dunia adalah wanita solehah."

Selasa, 4 Oktober 2011

Apa itu Wahabi ?



بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسانٍ إلى يوم الدين.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

فإن أصدقَ الحديث كتاب الله وخيرَ الهدي هديُ محمد صلى الله عليه وسلم وشرَّ الأمور محدثاتها وكلَّ محدثة بدعة وكلَّ بدعة ضلالة وكلَّ ضلالة في النار، أما بعد ؛

semoga Allah memberikan taufik dan inayah-Nya kepada kami dalam mengulas topik tersebut.

Fatwa Para Ulama Kibar Tentang Wajibnya Mengambil Manhaj Salaf Dan Bahayanya Hizbiyyah

FATWA SYIAKH MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI


Pertanyaan :
Apa yang dimaksud dengan salafiyah ?


Jawab.
Ketika kita mengatakan kami adalah salaf, maka yang dimaksud adalah generasi terbaik yang ada di muka bumi ini setetlah para rasul dan para nabi. Mereka adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam generasi pertama umat ini, kemudian para tabi’in yang datang setelahnya, kemudian para tabiut tabi’in pada generasi ketiganya. Tiga generasi inilah nama Salaf di mutlakkan, mereka adalah sebaik-baiknya umat. Ketika kita menisbahkan kepada salaf maka maksudnya, aku menisbahkan kepada generasi terbaik. Perlu dipahami pula bahwa penisbahan kepada perorangan atau kepada jama’ah tertentu yang mungkin bisa salah atau berada dalam kesesatan, baik sebagian maupun keseluruhan. [Al-Manhaj As-Salafi Inda Syaikh Al-Albani, hal.14]

Jumaat, 23 September 2011

Busana Muslimah: Dimana Islamnya??


Pentakrifan

"...Dan janganlah kamu mendedahkan diri seperti yang dilakukan oleh orang2 Jahiliyah dahulu..." (al-Ahzab:33)


Sejauh mnakah pakaian itu boleh diterima sebagai Busana Muslimah?

Bagaimana dengan batas2 Aurat?

Bagaimana dengan sifat sederhana dan MALU yg menjadi tunjang ekspresi diri pada pakaian itu?


Perkembangan semasa memperlihatkan apa yg dilebalkan sebagai Busana Muslimah itu, bukan lagi sekadar Tabarruj Jahiliah malah sudah menjadi al-kaasiaat al-'aariyaat seperti yg diungkapkan oleh Nabi sallallahu alaihi wasallam yng ber maksud SEPARUH TELANJANG, atau BERPAKAIAN TAPI BERTELANJANG.

Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu beliau berkata, Rasulullahi sallallahu alaihi wasallam bersbda: "Dua kelompok daripada penhunu
Neraka yang aku tidak pernah melihatnya (semasa hidupku) : Kaum yg memiliki cambuk seperti ekor lembu dan mereka melibas-libas orang dengannya. Yang kedua wanita yang akan telanjang walaupun mereka sedang berpakaian, perempuan ini berjalan sambil berlenggang lenggok dan sanggul rambutnya seumpama bonggol unta. Dan perempuan yg sebegini keadaannya tidak akan mencium bau syurga. Ketahuilah bau syurga sudah boleh dicium dari jarak begini dan begini.
(HR. Muslim)

Rabu, 21 September 2011

Bhg.8 Hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah





As Sunnah secara bahasa artinya jalan. Adapun secara istilah As Sunnah adalah ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya, baik berupa keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Dalam hal ini Sunnah menjadi
lawan dari bid’ah
. Bukan sunnah dalam bidang(terminologi) fikih. Karena sunnah menurut istilah fikih adalah segala perbuatan ibadah yang bila dikerjakan berpahala akan tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa. Maka sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah adalah seluruh ajaran Rasul dan para sahabat, baik yang hukumnya wajib maupun sunnah!! (silakan baca Lau Kaana Khairan karya Ustadz Abdul Hakim, hal. 14-17 baca juga Panduan Aqidah Lengkap penerbit Pustaka Ibnu Katsir hal. 36-40).

Al Jama’ah secara bahasa artinya kumpulan orang yang bersepakat untuk suatu perkara. Sedangkan menurut istilah syar’i, al jama’ah berarti orang-orang yang bersatu di atas kebenaran yaitu jama’ah para sahabat beserta orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat yang meniti jejak mereka dalam beragama di atas Al Kitab dan As Sunnah secara lahir maupun batin. Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Al Jama’ah adalah segala yang sesuai dengan al haq walaupun engkau seorang diri.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 29 dan 30).

Bhg.7 Pemahaman Salaf Adalah Jalan Keluar Perselisihan

Abu Naajih ‘Irbadh bin Saariyah radhiyallahu’anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan sebuah nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati bergetar dan air mata bercucuran. Maka kamipun mengatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah. Seolah-olah ini merupakan nasihat dari orang yang hendak berpisah. Maka sudilah kiranya anda memberikan wasiat kepada kami”. Beliau pun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian supaya senantiasa bertakwa kepada Allah. Dan tetaplah mendengar dan taat (kepada pemimpin). Meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sesudahku niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka berpeganglah dengan Sunnahku, dan Sunnah para khalifah yang lurus dan berpetunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham. Serta jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (di dalam agama). Karena semua bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama) adalah sesat.”

Imam Nawawi mengatakan: (hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi) menilainya ‘Hadits hasan shahih’. Pen-takhrij Ad Durrah As Salafiyah menyebutkan bahwa derajat hadits ini: shahih. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (4/126), Abu Dawud (4607), Tirmidzi (2676), Al Haakim (1/174), Ibnu Hibaan (1/179) serta dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ hadits no. 2549 (lihat Ad Durrah As Salafiyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, cet. Markaz Fajr lith Thab’ah hal. 199, Lihat juga Lau Kaana Khairan, hal. 164).

Ahad, 11 September 2011

WASIATKU

                                                       السلام عليكم ورحمة الله وباركاته        
بسم الله الرَحمن الرحيم

WAHAI KELUARGA DAN JEMAAHKU JADIKAN AL-QURAN DAN SUNNAH SEBAGAI RUJUKAN ASAS DALAM PENGURUSAN JENAZAHKU

  • Jika aku sedang nazak, bisikanlah ditelingaku kalimmah لا إله إلا الله  agar kalimah tersebut menjadi perkataan terakhirku.
  • Segerakan urusan jenazahku berlandaskan petunjuk Muhammad sallallahu alaihi wasaallam.
  • Sambutlah berita kematianku, dengan doa agar aku dia diampuni dan dirahmati ALLAH. Usahlah meratapi kematianku.
  • Usah dilewatkan pengebumianku semata-mata untuk menuggu seseorang kerana inilah saranan Rasul junjungan.
  • Kebumikan aku di tanah perkuburan yang paling hampir dengan tempat kematianku agar jenazahku dapat diusung dan tidak dibawa dengan sebarang kenderaan.
  • Kuburkan aku di perkuburan yang duyakini tidak akan ada pembongkaran.
  • Aku tidak benarkan sebarang binaan diatas kuburku. Biarlahsekadar sebiji batu yang memberi tanda kubur agar ia tidak dibongkar.
  • Aku tidak benarkan kuburku ditanam dengan pohon-pohon, ditabur bunga, atau disirami air. Sesungguhnya tiadalah yang menemaniku kecuali amalanku, sedekah jariahku dan anak-anak yang soleh.
  • Usahlah membaca Al-Quran diatas kuburku dan janganlah solat di kuburku.
  • Usahla mengadakan sebarang jamuan sempena kematianku dengan amalan-amalan majlis tahlil dan yasin. Sentiasala ingati daku dalam doa kalian.
  • Segala hutang piutangku hendaklah diselesaikan secepat mungkin.
  • Segerakan pembahagianharta pusaka yang aku tinggalkan. Lakukan pembahagian itu berdasarkan faraidh yang ditentukan ALLAH dan Rasul-Nya..

IKHLAS DARI: HAZIM FAIZ SAID AL-HAFIZ

Jumaat, 9 September 2011

Dzikir Pagi dan Petang Serta Keutamaannya

Banyak sekali keutamaan dzikir pagi dan petang sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun bacaannya dan penjelasan tentang keutamaannya adalah seperti berikut:

1. Membaca:
 
الْحَمْدُ لِلَّهِ وَحْدَهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى مَنْ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ

Dibaca sekali ketika pagi dan petang. Dari Anas yang dia memarfu’kannya (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Sungguh aku duduk bersama suatu kaum yang berdzikir kepada Allah setelah shalat shubuh sampai terbitnya matahari lebih aku sukai daripada membebaskan/memerdekakan empat orang dari keturunan Nabi Isma’il (bangsa ‘Arab). Dan sungguh aku duduk bersama suatu kaum yang berdzikir kepada Allah setelah shalat ‘ashar sampai terbenamnya matahari lebih aku sukai daripada membebaskan empat orang (budak).” (HR. Abu Dawud no.3667 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Shahih Abu Dawud 2/698)

 2. Membaca ayat kursi (Al-Baqarah:255)

Dibaca sekali ketika pagi dan petang. “Barangsiapa membacanya di pagi hari maka akan dilindungi dari (gangguan) jin sampai petang, dan barangsiapa yang membacanya di petang hari maka akan dilindungi dari gangguan mereka (jin).” (HR. Al-Hakim 1/562 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Shahih At-Targhiib wat Tarhiib 1/273)

3. Membaca surat Al-Ikhlaash, Al-Falaq dan An-Naas.

Dibaca 3x ketika pagi dan petang. “Barangsiapa yang membacanya tiga kali ketika pagi dan ketika petang maka dia akan dicukupi dari segala sesuatu.” (HR. Abu Dawud 4/322, At-Tirmidziy 5/567, lihat Shahih At-Tirmidziy 3/182)

4. Membaca:

أَصْبَحْنَا وَأَصْبَحَ الْمُلْكُ لِلَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلّ
شَيْءٍ قَدِيْرٌ، رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهُ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهُ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوْءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ

Jika petang hari baca:

أَمْسَيْنَا وَأَمْسَى الْمُلْكُ لِلَّهِ … رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِيْ هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهَا وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْ هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهَا …

Dibaca sekali. (HR. Muslim 4/2088 no.2723 dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

5. Membaca:

اللَّهُمَّ بِكَ أَصْبَحْنَا وَبِكَ أَمْسَيْنَا وَبِكَ نَحْيَا وَبِكَ نَمُوْتُ وَإِلَيْكَ النُّشُوْرُ

Jika petang hari baca:

اللَّهُمَّ بِكَ أَمْسَيْنَا وَبِكَ أَصْبَحْنَا وَبِكَ نَحْيَا وَبِكَ نَمُوْتُ وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ

Dibaca sekali. (HR. At-Tirmidziy 5/466, lihat Shahih At-Tirmidziy 3/142)

6. Membaca:

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ

Dibaca sekali ketika pagi dan petang. “Barangsiapa yang mengucapkannya dalam keadaan yakin dengannya ketika petang hari lalu meninggal di malam harinya, niscaya dia akan masuk surga. Dan demikian juga apabila di pagi hari.” (HR. Al-Bukhariy 7/150)

7. Membaca:

اللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَدَنِيْ، اللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ سَمْعِيْ، اللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ. اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ

Dibaca 3x ketika pagi dan petang. (HR. Abu Dawud 4/324, Ahmad 5/42, An-Nasa`iy di dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no.22 dan Ibnus Sunniy no.69, serta Al-Bukhariy di dalam Al-Adabul Mufrad dan dihasankan sanadnya oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz di dalam Tuhfatul Akhyaar hal.26)

8. Membaca:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، اللَّهُمَّ إِنَّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِيْ دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِيْ، وَآمِنْ رَوْعَاتِيْ، اللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِيْ، وَعَنْ يَمِيْنِيْ، وَعَنْ شِمَالِيْ، وَمِنْ فَوْقِيْ، وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِيْ

Dibaca sekali ketika pagi dan petang. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, lihat Shahih Ibnu Majah 2/332)

9. Membaca:

اللَّهُمَّ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ وَمَلِيْكَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ، وَأَنْ أَقْتَرِفَ عَلَى نَفْسِيْ سُوْءًا، أَوْ أَجُرَّهُ إِلَى مُسْلِمٍ

Dibaca sekali ketika pagi dan petang. (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidziy, lihat Shahih At-Tirmidziy 3/142)

10. Membaca:

بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

Dibaca 3x ketika pagi dan petang. “Barangsiapa yang mengucapkannya tiga kali ketika pagi dan tiga kali ketika petang, tidak akan membahayakannya sesuatu apapun.” (HR. Abu Dawud 4/323, At-Tirmidziy 5/465, Ibnu Majah dan Ahmad, lihat Shahih Ibnu Majah 2/332)

11. Membaca:

رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا

Dibaca 3x ketika pagi dan petang. “Barangsiapa yang mengucapkannya tiga kali ketika pagi dan ketika petang maka ada hak atas Allah untuk meridhainya pada hari kiamat.”

Boleh juga membaca:

… وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا وَرَسُوْلاً

(HR. Ahmad 4/337, An-Nasa`iy di dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no.4 dan Ibnus Sunniy no.68, Abu Dawud 4/418, At-Tirmidziy 5/465 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz di dalam Tuhfatul Akhyaar hal.39)

12. Membaca:

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ

Dibaca sekali ketika pagi dan petang. (HR. Al-Hakim dan beliau menshahihkannya serta disepakati oleh Adz-Dzahabiy 1/545, lihat Shahih At-Targhiib wat Tarhiib 1/273)

13. Membaca:

أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الإِسْلاَمِ وَعَلَى كَلِمَةِ الإِخْلاَصِ، وَعَلَى دِيْنِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَى مِلَّةِ أَبِيْنَا إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Jika petang hari membaca:

أَمْسَيْنَا عَلَى فِطْرَةِ الإِسلام

Dibaca sekali. (HR. Ahmad 3/406, 407, Ibnus Sunniy di dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no.34, lihat Shahiihul Jaami’ 4/209)

14. Membaca:

سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ

Dibaca 100x ketika pagi dan petang. “Barangsiapa yang membacanya seratus kali ketika pagi dan petang maka tidak ada seorang pun yang datang pada hari kiamat yang lebih utama daripada apa yang dia bawa kecuali seseorang yang membaca seperti apa yang dia baca atau yang lebih banyak lagi.” (HR. Muslim 4/2071)

15. Membaca:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Dibaca 10x. (HR. An-Nasa`iy di dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no.24, lihat Shahih At-Targhiib wat Tarhiib 1/272)

Atau dibaca sekali ketika malas/sedang tidak bersemangat. (HR. Abu Dawud 4/319, Ibnu Majah, Ahmad 4/60, lihat Shahih Abu Dawud 3/957 dan Shahih Ibnu Majah 2/331)

16. Membaca:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Dibaca 100x ketika pagi. “Barangsiapa yang membacanya seratus kali dalam sehari maka (pahalanya) seperti membebaskan sepuluh budak, ditulis untuknya seratus kebaikan, dihapus darinya seratus kesalahan, dan dia akan mendapat perlindungan dari (godaan) syaithan pada hari itu sampai petang, dan tidak ada seorang pun yang lebih utama daripada apa yang dia bawa kecuali seseorang yang mengamalkan lebih banyak dari itu.” (HR. Al-Bukhariy 4/95 dan Muslim 4/2071)

17. Membaca:

سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ: عَدَدَ خَلْقِهِ، وَرِضَا نَفْسِهِ، وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ

Dibaca 3x ketika pagi. (HR. Muslim 4/2090)

18. Membaca:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً

Dibaca sekali ketika pagi. (HR. Ibnus Sunniy di dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no.54, Ibnu Majah no.925 dan dihasankan sanadnya oleh ‘Abdul Qadir dan Syu’aib Al-Arna`uth di dalam tahqiq Zaadul Ma’aad 2/375)

19. Membaca:

أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ

Dibaca 100x dalam sehari. (HR. Al-Bukhariy bersama Fathul Baari 11/101 dan Muslim 4/2075)

20. Membaca:

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

Dibaca 3x ketika petang. “Barangsiapa yang mengucapkannya ketika petang tiga kali maka tidak akan membahayakannya panasnya malam itu.” (HR. Ahmad 2/290, lihat Shahih At-Tirmidziy 3/187 dan Shahih Ibnu Majah 2/266)


21. Membaca:

اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ

Dibaca 10x ketika pagi dan petang. “Barangsiapa yang membaca shalawat kepadaku ketika pagi sepuluh kali dan ketika petang sepuluh kali maka dia akan mendapatkan syafa’atku pada hari kiamat.” (HR. Ath-Thabraniy dengan dua sanad, salah satu sanadnya jayyid, lihat Majma’uz Zawaa`id 10/120 dan Shahih At-Targhiib wat Tarhiib 1/273)

Inilah di antara dzikir-dzikir yang disunnahkan dibaca ketika pagi dan petang. Ada juga bacaan yang lainnya akan tetapi kebanyakan sanadnya dha’if sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy dan Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy. Wallahu a'lam.

Maraaji’: Hishnul Muslim karya Asy-Syaikh Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthaniy, Shahih Kitab Al-Adzkar wa Dha’ifuhu,

Selasa, 6 September 2011

Bhg.6 Allah Meridhai Salaf dan Para Pengikutnya

Allah subhanahu wata’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100).

Di dalam ayat ini Allah memuji tiga golongan manusia yaitu: kaum Muhajirin, kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka kita katakan bahwa Muhajirin dan Anshar itulah generasi salafsuh shalih. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik itulah yang disebut sebagai salafi. Al Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah mengatakan, “Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat yang menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada para Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Bahwa Allah ‘azza wa jalla telah ridha kepada para Shahabat dan mereka pun ridha kepada Allah ‘azza wa jalla. Dan Allah ‘azza wa jalla juga meridhai orang-orang yang mengikuti perjalanan para Shahabat dari tabi’in, tabi’ut tabi’in dan setrusnya dari orang alim sampai orang awam di timur dan di barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya, mereka yang tidak mengikuti perjalanan para Shahabat, apalagi sampai mengkafirkannya, maka mereka tidak akan mendapatkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al Masaa’il jilid 3, hal. 74).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat ini, “Allah ta’ala mengabarkan bahwa keridhaan-Nya tertuju kepada orang-orang yang terlebih dahulu (masuk Islam) yaitu kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sedangkan bukti keridhaan-Nya kepada mereka adalah dengan mempersiapkan surga-surga yang penuh dengan kenikmatan serta kelezatan yang abadi bagi mereka…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140). Imam Al Alusi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan As Saabiquun adalah seluruh kaum Muhajirin dan Anshar (Ruuhul Ma’aani, Maktabah Syamilah). Imam Syaukani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan, “Orang-orang yang mengikuti” di dalam ayat ini adalah orang-orang sesudah mereka (para sahabat) hingga hari kiamat. Adapun kata-kata, “dengan baik” merupakan ciri pembatas yang menunjukkan jati diri mereka. Artinya mereka adalah orang-orang yang mengikuti para sahabat dengan senantiasa berpegang teguh dengan kebaikan dalam hal perbuatan maupun perkataan sebagai bentuk peniruan mereka terhadap As Sabiquunal Awwaluun, tafsiran serupa juga disampaikan oleh Syaikh As Sa’di di dalam tafsirnya (Lihat Fathul Qadir dan Taisir Karimir Rahman, Maktabah Syamilah). Imam Ibnu Jarir Ath Thabari mengatakan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan “Orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” di dalam ayat ini adalah: Orang-orang yang meniti jalan mereka dalam beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam dalam rangka mencari keridhaan Allah..” (Tafsir Ath Thabari, Maktabah Syamilah).

Imam Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “(Ayat) Ini merupakan dalil tegas dari Al Qur’an yang menunjukkan bahwasanya barangsiapa mencaci mereka (para sahabat) dan membenci mereka maka dia adalah orang yang sesat dan menentang Allah jalla wa ‘ala, dimana dia telah berani membenci suatu kaum yang telah diridhai Allah. Dan tidak diragukan lagi bahwa kebencian kepada orang yang sudah diridhai Allah merupakan sikap penentangan kepada Allah jalla wa ‘ala, tindakan congkak dan melampaui batas.” (lihat Adhwaa’ul Bayaan, Maktabah Syamilah). Masih dalam konteks penafsiran ayat ini Imam Ibnu Katsir rahimahullah memberikan sebuah komentar pedas yang akan membakar telinga ahlul bid’ah pencela shahabat. Beliau mengatakan, “Duhai alangkah celaka orang yang membenci atau mencela mereka (semua sahabat), sungguh celaka orang yang membenci atau mencela sebagian mereka…” Setelah memberitakan sikap orang-orang Rafidhah yang memusuhi, membenci dan mencela orang-orang terbaik sesudah Nabi (diantaranya Abu Bakar dan ‘Umar) Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Sikap ini (yaitu permusuhan, kebencian dan celaan kaum Rafidhah atau Syi’ah) menunjukkan bahwa akal mereka sudah terbalik dan hati mereka juga sudah terbalik. Lalu dimanakah letak keimanan mereka terhadap Al Qur’an sehingga berani-beraninya mereka mencela orang-orang yang telah diridhai oleh Allah?…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140) Maka hanguslah telinga-telinga ahlul bid’ah;… mereka yang membenci dan mencaci maki para shahabat; generasi terbaik yang pernah hidup di permukaan bumi ini, radhiyallahu ‘anhum wa ardhaahum (Allah ridha kepada mereka dan saya pun ridha kepada mereka)

Rujukan; Limadza Ikhtarul Manhaj Salafy karangan Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid Ahli Hadits abad ini Syaikh Al Albani hafizahullah..Di tarjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. hafizhahullah dengan tajuk Mengapa Memilih Manhaj Salaf.

Bhg.5 Benci Salaf Berarti Benci Islam

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath: 29). Di dalam ayat ini disebutkan bahwa salah satu ciri para sahabat yaitu membuat jengkel dan marah orang-orang kafir.

Imam Ibnu Katsir mengatakan di dalam tafsirnya terhadap ayat yang mulia ini, “Dan berdasarkan ayat inilah Imam Malik rahimahullah menarik sebuah kesimpulan hukum sebagaimana tertera dalam salah satu riwayat darinya untuk mengkafirkan kaum Rafidhah (bagian dari Syi’ah) yang membenci para sahabat radhiyallahu’anhum. Beliau (Imam Malik) mengatakan, “Hal itu karena mereka (para sahabat) membuat benci dan jengkel mereka (kaum Rafidhah). Barangsiapa yang membenci para sahabat radhiyallahu’anhum maka dia telah kafir berdasarkan ayat ini.” Dan sekelompok ulama radhiyallahu’anhum pun ikut menyetujui sikap beliau ini…” (lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/280).

Dari perkataan Imam Malik dan penjelasan Imam Ibnu Katsir ini teranglah bagi kita bahwasanya konflik yang terjadi antara kaum Syi’ah (yang dulu maupun para pengikut Khomeini yang ada sekarang ini) dengan Ahlus Sunnah/Sunni bukanlah konflik politik atau perebutan kekuasaan yang diselimuti dengan jubah agama sebagaimana yang dikatakan oleh Gus Dur -semoga Allah memberinya petunjuk-, Kyai ini mengatakan di dalam sebuah wawancaranya dengan JIL (yang sama-sama suka menebarkan syubhat kepada umat Islam), “Konflik itu (maksudnya antara Syi’ah dan Sunni, red) muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara politis. Sejarah mengabarkan pada kita, dulu muncul peristiwa penganiyaan terhadap menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung atau pengikut di dalam bahasa Arab disebut syî’ah. Selanjutnya kata syî’ah ini menjadi sebutan dan identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah teologis dalam Islam. Sedangkan pihak yang menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan sebutan Sunni. Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan kekuasaan atau persoalan politik. Namun doktrin agama dibawa-bawa.” (wawancara JIL dengan Gus Dur tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi) Ini adalah kedustaan… !!! (silakan baca tulisan Ustadz Abdul Hakim Abdat dalam Al Masaa’il jilid 3 Masalah 66, hal 42-72 yang membongkar kedok kaum Syi’ah dengan menyertakan fatwa-fatwa para ulama tentang Rafidhah/Syi’ah.

Imam Ibnu Katsir juga mengatakan, “…Para sahabat itu memiliki keutamaan lebih, begitu pula lebih dahulu (berjasa bagi umat Islam) dan lebih sempurna, yang tidak ada seorangpun di antara umat ini yang mampu menyamai kehebatan mereka, semoga Allah meridhai mereka dan aku pun ridha kepada mereka. Allah telah menyiapkan surga-surga Firdaus sebagai tempat tinggal mereka, dan Allah telah menetapkan hal itu. (Imam) Muslim mengatakan di dalam shahihnya: Yahya bin Yahya menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya ada salah seorang di antara kalian yang berinfak emas sebesar Gunung Uhud niscaya itu tidak bisa mencapai (pahala) satu mud sedekah mereka, bahkan setengahnya juga tidak.” (HR. Muslim dalam Fadha’il Shahabah, diriwayatkan juga Al Bukhari dalam kitab Al Manaaqib no. 3673).” (lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/280).

Rujukan; Limadza Ikhtarul Manhaj Salafy karangan Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid Ahli Hadits abad ini Syaikh Al Albani hafizahullah..Di tarjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. hafizhahullah dengan tajuk Mengapa Memilih Manhaj Salaf.

Bhg.4 Cinta Salaf Berarti Cinta Islam

Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya salaf atau para sahabat adalah generasi pilihan yang harus kita cintai. Sebagaimana kita mencintai Nabi maka kita pun harus mencintai orang-orang pertama yang telah mengorbankan jiwa, harta dan pikiran mereka untuk membela dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka itulah para sahabat yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Inilah akidah kita, tidak sebagaimana akidah kaum Rafidhah/Syi’ah yang membangun agamanya di atas kebencian kepada para sahabat Nabi. Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab ‘Aqidahnya yang menjadi rujukan umat Islam di sepanjang zaman, “Kami mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah satu di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488). Pernyataan beliau ini adalah kebenaran yang dibangun di atas dalil-dalil syari’at, bukan sekedar omong kosong dan bualan belaka sebagaimana akidahnya kaum Liberal. Marilah kita buktikan…


Berikut ini dalil-dalil hadits yang menunjukkan bahwa mencintai kaum Anshar adalah tanda keimanan seseorang. Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab di dalam kitabul Iman di kitab Shahihnya dengan judul ‘Bab tanda keimanan ialah mencintai kaum Anshar’. Kemudian beliau membawakan sebuah hadits dari Anas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar.” (Bukhari no. 17). Imam Muslim juga mengeluarkan hadits ini di dalam Kitabul Iman dengan lafazh, “Tanda orang munafik adalah membenci Anshar. Dan tanda orang beriman adalah mencintai Anshar.” (Muslim no. 74) di dalam bab Fadha’il Anshar (Keutamaan kaum Anshar). Imam bukhari juga membawakan hadits Barra’ bin ‘Azib bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kaum Anshar, tidak ada orang yang mencintai mereka kecuali orang beriman.” Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam kitab shahihnya dari Abu Sa’id bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir lantas membenci kaum Anshar.” (Muslim no. 77). Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah mencintai mereka kecuali orang beriman dan tidaklah membenci mereka kecuali orang munafik. Barangsiapa yang mencintai mereka maka Allah mencintainya. Dan barangsiapa yang membenci mereka maka Allah juga membencinya.” (Muslim no. 75). Begitu pula Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Abu Sa’id di dalam Musnadnya, bahwa Nabi bersabda, “Mencintai kaum Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (lihat Fathul Bari, 1/80, Syarah Muslim, 2/138-139).

Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan sebagian hadits di atas mengatakan, “…Makna hadits-hadits ini adalah barangsiapa yang mengakui kedudukan kaum Anshar, keunggulan mereka dalam hal pembelaan terhadap agama Islam, upaya mereka dalam menampakkannya, dan melindungi umat Islam (dari serangan musuhnya), dan juga kesungguhan mereka dalam menunaikan tugas penting dalam agama Islam yang dibebankan kepada mereka, kecintaan mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kecintaan Nabi kepada mereka, kesungguhan mereka dalam mengerahkan harta dan jiwa di hadapan beliau, peperangan dan permusuhan mereka terhadap semua umat manusia (yang menentang dakwah Nabi, red) demi menjunjung tinggi Islam….maka ini semua menjadi salah satu tanda kebenaran iman dan ketulusannya dalam memeluk Islam…” (Syarah Muslim, 2/139).

Selain itu dalil-dalil dari Al Qur’an juga lebih jelas lagi menunjukkan kepada kita bahwa mencintai para sahabat adalah bagian keimanan yang tidak bisa dipisahkan. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Para sahabat adalah generasi terbaik, ini berdasarkan sabda Nabi ‘alaihis shalatu was salam, “Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku. Kemudian orang-orang yang mengikuti sesudah mereka. Dan kemudian generasi berikutnya yang sesudah mereka.” Maka mereka itu adalah kurun terbaik karena keutamaan mereka dalam bersahabat dengan Nabi ‘alaihish shalatu was salam. Sehingga mencintai mereka adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “…Supaya Allah membuat orang-orang kafir benci dengan adanya mereka (para sahabat).” (QS. Al Fath: 29). Maka kewajiban seluruh umat Islam adalah mencintai keseluruhan para sahabat dengan dalil tegas dari ayat ini. Karena Allah ‘azza wa jalla sudah mencintai mereka dan juga kecintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Dan juga karena mereka telah berjihad di jalan Allah, menyebarkan agama Islam ke berbagai belahan timur dan barat bumi, mereka muliakan Rasul dan beriman kepada beliau. Mereka juga telah mengikuti cahaya petunjuk yang diturunkan bersamanya. Inilah akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah, hal. 489-490).

Catatan:

Perlu kita perhatikan riwayat yang dibawakan oleh Syaikh Shalih Al Fauzan di atas yaitu hadits yang bunyinya, “Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku dst” dengan lafazh khairul quruun…. Syaikh Salim Al Hilaly mengatakan, “Hadits ini tersebar di dalam banyak kitab dengan lafazh khairul quruun (sebaik-baik masa). Saya (Syaikh Salim) katakan: Lafazh ini tidak terpelihara keotentikannya. Adapun yang benar adalah yang sudah kami sebutkan (yaitu Khairunnaas; sebaik-baik manusia, red).” (lihat Limadza Ikhtartul Manhaj Salafi, hal. 87).

Rujukan; Limadza Ikhtarul Manhaj Salafy karangan Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid Ahli Hadits abad ini Syaikh Al Albani hafizahullah..Di tarjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. hafizhahullah dengan tajuk Mengapa Memilih Manhaj Salaf.

Bhg.3 Meninggalkan Salaf Berarti Meninggalkan Islam

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah pernah ditanya: Kenapa harus menamakan diri dengan salafiyah? Apakah ia sebuah dakwah yang menyeru kepada partai, kelompok atau madzhab tertentu. Ataukah ia merupakan sebuah firqah (kelompok) baru di dalam Islam?



Maka beliau rahimahullah menjawab, “Sesungguhnya kata Salaf sudah sangat dikenal dalam bahasa Arab. Adapun yang penting kita pahami pada kesempatan ini adalah pengertiannya menurut pandangan syari’at. Dalam hal ini terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau berkata kepada Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha di saat beliau menderita sakit menjelang kematiannya, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Dan sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu)mu adalah aku.” Begitu pula para ulama banyak sekali memakai kata salaf. Dan ungkapan mereka dalam hal ini terlalu banyak untuk dihitung dan disebutkan. Cukuplah kiranya kami bawakan sebuah contoh saja. Ini adalah sebuah ungkapan yang digunakan para ulama dalam rangka memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka mengatakan, “Semua kebaikan ada dalam sikap mengikuti kaum salaf… dan semua keburukan bersumber dalam bid’ah yang diciptakan kaum khalaf (belakangan).” …”

Kemudian Syaikh melanjutkan penjelasannya, “Akan tetapi ternyata di sana ada orang yang mengaku dirinya termasuk ahli ilmu; ia mengingkari penisbatan ini dengan sangkaan bahwa istilah ini tidak ada dasarnya di dalam agama, sehingga ia mengatakan, “Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan saya adalah seorang salafi.” Seolah-olah dia ini mengatakan, “Seorang muslim tidak boleh mengatakan: Saya adalah pengikut salafush shalih dalam hal akidah, ibadah dan perilaku.” Dan tidak diragukan lagi bahwasanya penolakan seperti ini -meskipun dia tidak bermaksud demikian- memberikan konsekuensi untuk berlepas diri dari Islam yang shahih yang diamalkan oleh para salafush shalih yang mendahului kita yang ditokohi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung di dalam hadits mutawatir di dalam shahihain dan selainnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di zamanku (sahabat), kemudian diikuti orang sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka.” Oleh sebab itu maka tidaklah diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari menisbatkan dirinya kepada salafush shalih. Berbeda halnya dengan penisbatan (salafiyah) ini, seandainya dia berlepas diri dari penisbatan (kepada kaum atau kelompok) yang lainnya niscaya tidak ada seorang pun di antara para ulama yang akan menyandarkannya kepada kekafiran atau kefasikan…” (Al Manhaj As Salafi ‘inda Syaikh Al Albani, hal. 13-19, lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 65-66 karya Doktor Muhammad Musa Nashr hafizhahullah).

Rujukan; Limadza Ikhtarul Manhaj Salafy karangan Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid Ahli Hadits abad ini Syaikh Al Albani hafizahullah..Di tarjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. hafizhahullah dengan tajuk Mengapa Memilih Manhaj Salaf.

Bhg.2 Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama

Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata salaf maka yang mereka maksud adalah salah satu di antara 3 kemungkinan berikut:
Pertama: Para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).
Ketiga: Shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya di dalam Islam yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan berjuang membasmi bid’ah (lihat Al Wajiz, hal. 21).

Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan, “Adapun secara istilah kata salaf berarti sebuah sifat yang melekat secara mutlak pada diri para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun para ulama sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini karena sikap dan cara beragama mereka yang meneladani para sahabat.” (Limadza, hal. 30).

Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, -red). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6).

Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul Maqalah min Syarhir Risalah, “Adapun Salafush shalih, mereka itu adalah generasi awal (Islam) yang mendalam ilmunya serta meniti jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan senantiasa menjaga Sunnah beliau. Allah ta’ala telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Para imam umat ini pun merasa ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad di jalan Allah dengan penuh kesungguhan. Mereka kerahkan daya upaya mereka untuk menasihati umat dan memberikan kemanfaatan bagi mereka. Mereka juga mengorbankan diri demi menggapai keridhaan Allah…” ( lihat Limadza, hal. 31).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik orang adalah di zamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini. Demikian pula setiap orang yang menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga disebut sebagai orang yang menempuh manhaj salaf, atau biasa disebut dengan istilah salafi, artinya pengikut Salaf. Adapun pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah pembatasan yang keliru. Karena pada masa itupun sudah muncul tokoh-tokoh bid’ah dan kesesatan. Akan tetapi sifat yang benar adalah kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al Kitab dan As Sunnah serta pemahaman salafush shalih.

Oleh karena itulah siapapun orangnya asalkan dia sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti dia adalah pengikut salaf. Meskipun jarak dan masanya jauh dari Kenabian. Ini artinya orang-orang yang semasa dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak beragama sebagaimana mereka maka bukanlah termasuk golongan mereka, meskipun orang-orang itu sesuku atau bahkan saudara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Al Wajiz, hal. 22, Limadza, hal. 33 dan Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal. 8).

Rujukan; Limadza Ikhtarul Manhaj Salafy karangan Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid Ahli Hadits abad ini Syaikh Al Albani hafizahullah..Di tarjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. hafizhahullah dengan tajuk Mengapa Memilih Manhaj Salaf.