Abu Naajih ‘Irbadh bin Saariyah radhiyallahu’anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan sebuah nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati bergetar dan air mata bercucuran. Maka kamipun mengatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah. Seolah-olah ini merupakan nasihat dari orang yang hendak berpisah. Maka sudilah kiranya anda memberikan wasiat kepada kami”. Beliau pun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian supaya senantiasa bertakwa kepada Allah. Dan tetaplah mendengar dan taat (kepada pemimpin). Meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sesudahku niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka berpeganglah dengan Sunnahku, dan Sunnah para khalifah yang lurus dan berpetunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham. Serta jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (di dalam agama). Karena semua bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama) adalah sesat.”
Imam Nawawi mengatakan: (hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi) menilainya ‘Hadits hasan shahih’. Pen-takhrij Ad Durrah As Salafiyah menyebutkan bahwa derajat hadits ini: shahih. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (4/126), Abu Dawud (4607), Tirmidzi (2676), Al Haakim (1/174), Ibnu Hibaan (1/179) serta dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ hadits no. 2549 (lihat Ad Durrah As Salafiyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, cet. Markaz Fajr lith Thab’ah hal. 199, Lihat juga Lau Kaana Khairan, hal. 164).
Di dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan satu jalan keluar bagi umat tatkala menyaksikan sekian banyak perselisihan yang ada sesudah beliau wafat: yaitu berpegang teguh dengan Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin. Imam Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud Khulafa’ur Rasyidin adalah para khalifah yang empat yaitu; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 201). Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied juga menjelaskan bahwa mereka adalah keempat khalifah tersebut berdasarkan ijma’ (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 202).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita tatkala melihat perselisihan ini (yaitu banyaknya perselisihan, sebagaimana disebutkan di dalam hadits) supaya berpegang teguh dengan Sunnah beliau. Arti dari ungkapan ‘alaikum bi sunnatii ialah; Berpegang teguhlah dengannya (dengan Sunnah Nabi)…”. Beliau rahimahullah juga berkata, “Sedangkan makna kata Sunnah beliau ‘alaihish shalaatu was salaam adalah: jalan yang beliau tempuh, yang mencakup akidah, akhlak, amal, ibadah dan lain sebagainya. Kita harus berpegang teguh dengan Sunnah (ajaran) beliau. Dan kita pun berhakim kepadanya.
Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’: 65).
Dengan demikian Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya jalan keselamatan bagi orang yang dikehendaki Allah untuk selamat dari berbagai perselisihan dan berbagai macam kebid’ahan…” (Syarh Riyadhush Shalihin, I/603).
Di dalam keterangan beliau terhadap Hadits Arba’in Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “…Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh dengan Sunnah-nya; yaitu jalan beliau, dan juga supaya berpegang teguh dengan jalan Khulafa’ur Rasyidin Al Mahdiyyin. Dan juga termasuk di dalamnya (Khulafa’ur Rasyidin) adalah para khalifah/pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu, ibadah dan dakwah pada umatnya, dan sebagai pemuka mereka ialah empat orang Khalifah; yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum.” (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 203).
Keterangan Syaikh ‘Utsaimin ini serupa dengan keterangan Imam Al Mubarakfuri. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya hadits itu umum berlaku bagi setiap khalifah yang lurus dan tidak dikhususkan bagi dua orang Syaikh (Abu Bakar dan ‘Umar) saja. Dan telah dimaklumi berdasarkan kaidah-kaidah syari’at bahwa seorang khalifah yang lurus tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu jalan selain jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/50-51, dinukil dari Limadza, hal. 74-75).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan (Majmu’ Fatawa, 1/282), “Adapun yang dimaksud dengan Sunnah (ajaran) Khulafa’ur Rasyidin maka sebenarnya mereka tidaklah menggariskan sebuah ajaran kecuali berdasarkan perintah beliau (Nabi), maka dengan begitu ia termasuk bagian dari Sunnah beliau…” (dinukil dari Limadza, hal. 73). Di dalam Tuhfatul Ahwadzi (3/50 dan 7/420) Al Mubarakfuri juga mengatakan, “Bukanlah yang dimaksud dengan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin kecuali jalan hidup mereka yang sesuai dengan dengan jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam…” (dinukil dari Limadza, hal. 73).
Kesimpulan dari penjelasan para ulama di atas ialah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim Al Hilali. Beliau mengatakan, “Dengan demikian kesimpulan semua keterangan ini menunjukkan bahwa Sunnah Khulafa’ur Rasyidin adalah pemahaman para Shahabat radhiyallahu ‘anhum terhadap agama, karena mereka senantiasa meniti jalan sebagaimana jalan pemahaman dan penerapan Islam yang diajarkan oleh Nabi mereka…” (Limadza, hal. 75) Maka kita juga mengatakan bahwasanya jalan keluar bagi umat Islam dari sekian banyak perselisihan yang dapat kita saksikan dengan mata kepala kita pada hari ini berupa munculnya berbagai macam firqah dan aliran-aliran adalah memegang teguh Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti pemahaman para Shahabat radhiyallahu’anhum. Atau dengan kalimat yang ringkas kita katakan ‘Dengan mengikuti manhaj salaf’. Inilah hakikat dari istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Barangsiapa tidak mengikuti pemahaman para Shahabat maka dia telah menentang Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung ini.
Rujukan; Limadza Ikhtarul Manhaj Salafy karangan Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid Ahli Hadits abad ini Syaikh Al Albani hafizahullah..Di tarjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. hafizhahullah dengan tajuk Mengapa Memilih Manhaj Salaf.
Imam Nawawi mengatakan: (hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi) menilainya ‘Hadits hasan shahih’. Pen-takhrij Ad Durrah As Salafiyah menyebutkan bahwa derajat hadits ini: shahih. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (4/126), Abu Dawud (4607), Tirmidzi (2676), Al Haakim (1/174), Ibnu Hibaan (1/179) serta dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ hadits no. 2549 (lihat Ad Durrah As Salafiyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, cet. Markaz Fajr lith Thab’ah hal. 199, Lihat juga Lau Kaana Khairan, hal. 164).
Di dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan satu jalan keluar bagi umat tatkala menyaksikan sekian banyak perselisihan yang ada sesudah beliau wafat: yaitu berpegang teguh dengan Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin. Imam Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud Khulafa’ur Rasyidin adalah para khalifah yang empat yaitu; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 201). Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied juga menjelaskan bahwa mereka adalah keempat khalifah tersebut berdasarkan ijma’ (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 202).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita tatkala melihat perselisihan ini (yaitu banyaknya perselisihan, sebagaimana disebutkan di dalam hadits) supaya berpegang teguh dengan Sunnah beliau. Arti dari ungkapan ‘alaikum bi sunnatii ialah; Berpegang teguhlah dengannya (dengan Sunnah Nabi)…”. Beliau rahimahullah juga berkata, “Sedangkan makna kata Sunnah beliau ‘alaihish shalaatu was salaam adalah: jalan yang beliau tempuh, yang mencakup akidah, akhlak, amal, ibadah dan lain sebagainya. Kita harus berpegang teguh dengan Sunnah (ajaran) beliau. Dan kita pun berhakim kepadanya.
Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’: 65).
Dengan demikian Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya jalan keselamatan bagi orang yang dikehendaki Allah untuk selamat dari berbagai perselisihan dan berbagai macam kebid’ahan…” (Syarh Riyadhush Shalihin, I/603).
Di dalam keterangan beliau terhadap Hadits Arba’in Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “…Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh dengan Sunnah-nya; yaitu jalan beliau, dan juga supaya berpegang teguh dengan jalan Khulafa’ur Rasyidin Al Mahdiyyin. Dan juga termasuk di dalamnya (Khulafa’ur Rasyidin) adalah para khalifah/pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu, ibadah dan dakwah pada umatnya, dan sebagai pemuka mereka ialah empat orang Khalifah; yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum.” (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 203).
Keterangan Syaikh ‘Utsaimin ini serupa dengan keterangan Imam Al Mubarakfuri. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya hadits itu umum berlaku bagi setiap khalifah yang lurus dan tidak dikhususkan bagi dua orang Syaikh (Abu Bakar dan ‘Umar) saja. Dan telah dimaklumi berdasarkan kaidah-kaidah syari’at bahwa seorang khalifah yang lurus tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu jalan selain jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/50-51, dinukil dari Limadza, hal. 74-75).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan (Majmu’ Fatawa, 1/282), “Adapun yang dimaksud dengan Sunnah (ajaran) Khulafa’ur Rasyidin maka sebenarnya mereka tidaklah menggariskan sebuah ajaran kecuali berdasarkan perintah beliau (Nabi), maka dengan begitu ia termasuk bagian dari Sunnah beliau…” (dinukil dari Limadza, hal. 73). Di dalam Tuhfatul Ahwadzi (3/50 dan 7/420) Al Mubarakfuri juga mengatakan, “Bukanlah yang dimaksud dengan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin kecuali jalan hidup mereka yang sesuai dengan dengan jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam…” (dinukil dari Limadza, hal. 73).
Kesimpulan dari penjelasan para ulama di atas ialah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim Al Hilali. Beliau mengatakan, “Dengan demikian kesimpulan semua keterangan ini menunjukkan bahwa Sunnah Khulafa’ur Rasyidin adalah pemahaman para Shahabat radhiyallahu ‘anhum terhadap agama, karena mereka senantiasa meniti jalan sebagaimana jalan pemahaman dan penerapan Islam yang diajarkan oleh Nabi mereka…” (Limadza, hal. 75) Maka kita juga mengatakan bahwasanya jalan keluar bagi umat Islam dari sekian banyak perselisihan yang dapat kita saksikan dengan mata kepala kita pada hari ini berupa munculnya berbagai macam firqah dan aliran-aliran adalah memegang teguh Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti pemahaman para Shahabat radhiyallahu’anhum. Atau dengan kalimat yang ringkas kita katakan ‘Dengan mengikuti manhaj salaf’. Inilah hakikat dari istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Barangsiapa tidak mengikuti pemahaman para Shahabat maka dia telah menentang Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung ini.
Rujukan; Limadza Ikhtarul Manhaj Salafy karangan Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid Ahli Hadits abad ini Syaikh Al Albani hafizahullah..Di tarjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. hafizhahullah dengan tajuk Mengapa Memilih Manhaj Salaf.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan