Sinopsis singkat (bagian warna adalah kutipan dari buku)
Lelaki Muda yang ingin menikah
“Begini
ustadz. Usia saya sekarang baru 18 tahun. Namun terus terang, saya
sudah ingin sekali menikah. Saya khawatir terjebak dalam perzinaan, bila
saya harus menunda menikah lebih lama lagi.” Tanpa sungkan pemuda itu
menceritakan keinginannya. Cerita itu sendiri sejatinya sudah memuat
pertanyaan. Namun saya ingin tahu lebih jauh. Saya biarkan dia terus
bercerita.
“Saya
sadar, saya masih terlalu hijau untuk menikah. Tapi saya lebih sadar,
bahwa tanpa menikah, saat ini saya merasa tidak kuat menahan godaan
syahwat. Saya telaten puasa dawud satu tahun ini, untuk menjalankan
sunnah Rasul. Gejolak itu memang teredam sebagiannya. Namun yang masih
tersisa begitu kuat. Dan saya merasa tersiksa. Apa saya sudah layak
menikah ustadz?”
Berikutnya
terjadi tanya jawab antara pemuda tersebut dan sang ustadz, seputar
pernikahan, kondisi pemuda tersebut yang memang belum mapan, dan tidak
mempunyai pekerjaan, dan kemauan dari calon mertuanya untuk menikahkan
putrinya dengan pemuda yang sudah mapan. Sang ustadz pun menyarankan
agar pemuda tersebut memusyawarahkan hal tersebut dengan orang tua sang
calon.
Kesepakatan atau perjudian?
“Calon
mertua saya itu ternyata orang yang berpendirian kuat, tapi ambisius.
Ia bersedia menikahkan saya dengan putrinya, tapi dengan sebuah
tantangan.”
“Tantangan”
“Ya.
Ia menantang saya, dengan justru tidak akan membantu kami, bila kami
menikah. Ia memang bukan konglomerat ustadz, tapi hidupnya sangat
berkecukupan. Setidaknya ia bisa membantu kami bila suatu saat kami
hidup kesusahan. Dan ia sesungguhnya tak ingin putrinya hidup serba
kekurangan sepanjang hayat. Tapi bila sudah berkeluarga, ia ingin
putrinya tidak lagi bergantung kepadanya. Ia menantang bahwa dalam
sepuluh tahun saya harus dapat memberi penghidupan yang layak buat
putrinya. Kami sudah harus memiliki kehidupan yang berkecukupan. Bila
tidak, ia meminta saya menceraikannya. Dan uniknya ia meminta hal itu
diucapkan saat akad nikah, sebagai syarat”
Pemuda dan sang ustadz kemudian berdialog tentang hukum adanya syarat seperti itu.
Sosok kedua tokoh utama (dalam 2 bab)
Sosok kedua tokoh utama (dalam 2 bab)
Pada
bab berikutnya, digambarkan latar belakang kehidupan pemuda shalih
bernama Rizqaan ini dan juga pemudi shalihah bernama Halimah, yang
nampaknya mempunyai beberapa kesamaan dan idealisme yang membuat mereka
cocok satu sama lain. Rizqaan adalah seorang penuntut ilmu yang gigih
yang langka dimana dikala kalangan pemuda yang lainnya larut dalam
kehidupan dunia muda dengan beragam fenomenanya. Halimah adalah sosok
muslimah yang teguh menjalani fitrahnya menjadi seorang muslimah kaffah dilingkungan keluarga yang jauh dari nilai agama.
Lembar-lembar kehidupan (dalam beberapa bab)
Dan
bab-bab selanjutnya adalah torehan tinta dari perjalanan panjang dan
melelahkan dari babak-babak kehidupan dua orang muda-mudi dalam mengayuh
dayung sebuah biduk kecil bernama rumah tangga yang mereka bangun
dengan dasar ketaqwaan kepada Rabb mereka. Bermacam ujian dan cobaan
yang digambarkan, namun senantiasa dihadapi oleh mereka dengan suatu
sikap yang sudah selayaknya dimiliki oleh seorang muslim. Juga sampai
pada masa-masa cobaan yang mereka sudah bukan dalam bentuk kesulitan
namun justru suatu nikmat yang bisa saja menjerumuskan mereka ke jurang
kenistaan.
Rizqaan
memulai perjuangannya memberi nafkah kepada istrinya dengan mencoba
berdagang menjajakan roti dari suatu pabrik dari sedikit modal yang
dimilikinya. Kedua insan ini memulai hidup dalam keprihatinan, namun
mereka tetap sabar dan yakin akan ketentuan yang diberikan Allah kepada
mereka. Dari mulai diceritakan saat-saat mereka hanya makan nasi putih
dengan garam dan bawang goreng, dan bermacam cobaan lainnya. Berkat
kegigihan dan kejujuran Rizqaan dalam berdagang, juga kesabaran Halimah
istrinya untuk menerima keadaan mereka dan keuletannya me-manage
keuangan rumah tangga. Pelan tapi pasti kehidupan keduanya berangsur
membaik. Rizqaan menjadi penjual roti keliling yang sukses, berkat
kejujurannya dan teguhnya memegang prinsip agamanya untuk tidak
berdekatan dengan segala hal yang berbau haram maupun syubhat yang
melingkupi bidang pekerjaannya. Rizqaan adalah tipe pekerja keras, namun
ia bukanlah hamba dunia. Ia bekerja keras untuk mendapatkan dunia,
namun ia berniat menundukkan dunia itu agar menjadi ladang akhirat
baginya. Kehidupan ruhaninya yang dulu pun tak menjadi rusak dikarenakan
kesibukannya mencari harta, bahkan Rizqaan yang hanya lulusan SMA(SPM) ini
telah menjelma menjadi sosok yang layak menyandang gelar Al-Ustadz.
Kebahagiaan
keduanya lengkap tatkala mereka mendapatkan keturunan dari Allah
Ta’ala. Bisnis Rizqaan semakin maju, hingga kini Rizqaan sudah bukan
lagi penjaja roti keliling tapi sudah menjadi seorang pengusaha roti
yang mempekerjakan beberapa karyawan. Omzetnya pun bukan lagi puluhan
ribu seperti ketika awal-awal ia merintis usahanya, namun sudah menjadi
puluhan juta. Kerikil-kerikil tajam sudah barang tentu menjadi selingan
dalam kehidupannya.
Gemuruh prahara
Pada
bulan keenam tahun kesepuluh pernikahan mereka adalh puncak kebahagiaan
yang mereka rasakan, tidak ada lagi kesusahan dalam hidup mereka.
Rizqaan sudah menjadi seorang pengusaha sukses. Rumah mereka bukanlah
rumah petak kontrakan ala kadarnya, namun sudah menjadi rumah mewah
dengan pabrik roti di belakangnya. Akhirnya memasuki
bulan kesebelas kehidupan yang mereka jalani terasa begitu lambat ketika
mereka berusaha untuk mempertahankan kehidupan mereka dan menunggu
hingga saat tiba bagi Rizqaan untuk membuktikan janjinya kepada
mertuanya. Hingga suatu malam tiba, dimana malam itu pada bulan kedua
belas dan hari “H” tinggal hanya dua hari lagi terjadi musibah besar
yang memporak-porandakan kehidupan yang selama ini mereka bagun dengan
susah payah. Kebakaran melanda pabrik dan rumah mereka, hingga
menjadikan ayah Rizqaan meninggal dunia. Belakangan di akhir cerita
diceritakan, bahwa kebakaran tersebut merupakan ulah dari saudara jahat
Halimah yang bernama Asyraf agar ayahnya memenangkan perjanjian dan
Halimah menikah dengan lelaki lain yang lebih kaya.
Badai Susulan
Baru
beberapa dua hari berselang dari musibah kebakaran tersebut, musibah
lain datang menyapa. Hari itu adalah hari final dari perjanjian yang
diucapkan Rizqaan saat akad nikah sepuluh tahun yang lalu. Sang mertua
(Bapak Halimah) dengan kejamnya menagih janji dari Rizqaan dan
menyatakan bahwa Rizqaan tidak dapat memenuhi janjinya, karena saat ini
Rizqaan telah menjadi seorang yang bangkrut. Akhirnya dalam pergulatan
batin yang hebat sebagai seorang muslim dan muslimah yang menaati Allah
dan Rasulnya. Mau tak mau mereka harus menepati janji mereka.
“Halimah istriku……..” ujar Rizqaan, dengan napas tercekat.
“Ya, abuya. Kakanda. Suamiku.” Balas Halimah, tak kalah pedihnya.
“Dihadapan
Allah. Atas Dasar ketaatan kita kepada-Nya. Dengan harapan Allah akan
memperjumpakan kita di Surga kelak dalam sejuta keindahan yang melebihi
segala yang pernah kita rasakan berdua. Atas dasar cinta kasih kita yang
suci. Atas dasar kepedihan hati yang mendalam, yang hanya Allah yang
mengatahuinya: SAYA MENALAQMU ADINDA.”
Meski
tabah, tapi mau tidak mau tangisan Halimah meledak, tak terbendung
lagi. Ia menagis terisak-isak. Ia tak pernah membayangkan, bahwa
kesetiaannya kepada suami akan berujung pada kepedihan seperti ini. Ya
Allah Ya Rabbi. Kami yakin, berkah sesungguhnya adalah pada cinta-Mu
kepada kami. Kami merindukan cinta-Mu. Hati Rizqaan dan Halimah berbisik
lirih.
Lembaran-lembaran baru kehidupan Rizqaan, Halimah dan Nabhaan anak mereka
Pada
bab-bab selanjutnya dikisahkan bagaimana Rizqaan merintis kembali
usahanya yang telah hancur dengan sekuat tenaga dan ketabahannya
menghadapi cobaan. Juga dikisahkan bagaimana kehidupan Halimah
selanjutnya selepas menyandang predikat sebagai seorang janda yang
sangat tidak dia harapkan. Tak lupa bagaimana rintihan
putra mereka Nabhaan yang saat itu berusia delapan tahun ketika
menanyakan kenapa kehidupannya tidak bisa bahagia seperti dulu lagi.
Sampai pada suatu saat, ketika ada seorang duda kaya raya anak seorang
pejabat yang mengutarakan keinginan untuk menikahi Halimah. Dikisahkan
inilah sebab mengapa Asyraf, abang Halimah, melakukan perbuatan keji
merusak kehidupan rumah tangga Rizqaan dan Halimah. Namun entah apa yang
dibicarakan oleh Halimah, duda tersebut dan ayahnya, ketika mereka
berniat melamar Halimah, sehingga menjadikan mererka mengurungkan niat
untuk melamarnya. Saat diceraikan oleh Rizqaan, halimah sedang
mengandung anak kedua mereka, dan saat menjadi janda kondisi kesehatan
Halimah menjadi memburuk dan ternya Halimah telah divonis menderita
leukimia (kanker darah) dengan diagnosa bahwa hidupnya tidak akan lama
lagi. Hari-hari berlalu sampai suatu ketika Ayah Halimah menyadari bahwa
Halimah tidak akan bisa menikah dengan lelaki lain selain Rizqaan.
Ending yang mengharukan
Suatu ketika Halimah dan kedua orang tuanya berkunjung ke rumah Rizqaan yang kini telah mapan kembali.
**************************************
“Kami
datang, untuk sebuah keperluan yang mungkin tak pernah kamu duga
ananda. Setelah perdebatan panjang, dan banyak kisah-kisah di
sekitarnya, kami berniat, akan menikahkanmu kembali dengan putri kami,
Halimah…..”
“A….pa…?
menikahkanku kembali dengan Halimah” Rizqaan tergagap. Ia tak mampu
berbicara. Ada kelebatan sinar menyapu otaknya. Sehingga ia nyaris hanya
bisa terpaku karena kegembiraan yang tidak terkira.
*************************************
“Abuya….”
“Maaf, aku belum menjadi suamimu lagi….” sela Rizqaan
“Izinkan aku tetap memanggilmu Abuya. Aku tak terbiasa dengan panggilan lain.”
“Baiklah. Ada apa Adinda?”
“Abuya. Apakah abuya siap menikahiku lagi?”
“Adinda
Halimah, kenapa aku tidak siap? Dari dulu aku tak pernah berniat
menceraikanmu. Aku senantiasa mencintaimu. Hanya karena kita bukan suami
istri lagi, aku selalu menindih rasa cintaku itu sekuat mungkin. Tapi
bila diberi kesempatan menikahimu lagi, aku tak mungkin menolak.”
“Meskipun misalnya aku memiliki kekurangan yang tidak kumiliki sebelumnya?”
“Kekurangan apa Adinda?”
“Jawab dulu pertanyaanku.”
“Ya.
Aku akan menikahimu dengan segala kekuranganmu yang ada. Selama itu
bukanlah cacat dalamagamamu yang tidak dapat diperbaiki.” Ujar Rizqaan
tegas.
“Abuya.
Aku ingin Abuya menikahiku. Karena aku ingin mati dalam keridhaan
seorang suami shalih…..” Halimah berhenti sejenak. Ada keharuan yang
membuatnya tercekat, sehingga sulit bicara.
“Abuya
bisa segera menikahiku. Tapi aku tak tahu, apakah keinginan itu akan
tetap ada, setelah Abuya mengetahui kekuranganku sekarang. Abuya, aku
baru saja satu minggu yang lalu melakukan check up. Dan aku terbukti
mengidap leukimia…” sampai disitu, Halimah terisak. Ia tak mapu
melanjutkan bicaranya.
Rizqaan
merasa tersentak. Tapi demi Allah, ia tak sedikit pun merasa sedih.
Kegembiraan bisa kembali bersama istrinya, tak bisa terkalahkan oleh
kesedihan atas kondisi Halimah tersebut.
“Dokter mengklain bahwa usiaku tak akan lebih dari 3-4 bulan saja….” kembali Halimah menangis.
“Aku
tidak peduli. Umur ada di tangan Allah. Manusia hanya mapu
mengira-ngira. Nyawaku, bisa saja lebih dahulu terenggut daripada
nyawamu. Aku akan segera menikahimu. Biarlah Allah yang menentukan akhir
perjalanan hidup kita. Bagiku, hidup atau mati bersamamu, dalam
“kecintaan” Allah adalah sebuah kenyataan yang paling penuh berkah”.
Rizqaan berbicara dengan kayakinan kokoh membelit jiwanya.
*******************************************
Rizqaan
dan Halimah kembali hidup berbahagia. Mereka kembali mengulang
masa-masa penuh keceriaan di antara mereka. Satu bulan kemudian, anak
mereka yang kedua lahir. Ia seorang bayi perempuan yang cantik. Mirip
ibunya, Halimah. Bayi itu dilahirkan dengan cara normal. Bayi maupun
ibunya sama-sama selamat.
*******************************************
Kebahagiaan
mereka berlanjut, sampai suatu ketika datang berita bahwa abang
Halimah, Asyraf menjadi buronan polisi dikarenakan kasus narkoba, dan
juga berita tentang dalang penyebab kebakaran yang menewaskan ayah
Rizqaan. Karuan berita itu membuat kegembiraan mereka semua hilang. Ayah
Halimah yang kini menjelma menjadi orang baik hati marah besar kepada
anaknya tersebut. Dan Halimah seketika jatuh pingsan dan sakit.
******************************************
Sore
menjelang Maghrib, Halimah terbangun. Disampingnya duduk Rizqaan.
Sementara di depannya, Ayah dan ibunya duduk diatas kursi plastik.
Mereka semua cemas menantikan kesadarannya. Seorang dokter perempuan
–yang sengaja diundang ke rumah- mendekatinya. Memeriksa nadinya, lalu
memberikan suntikan di bagian lengannya.
“A…..Abuya….” Halimah berkata lirih.
“Aku disini Adinda”
“Alhamdulillah. Apakah sudah maghrib? “tanya Halimah.
“Belum. Masih kira-kira sepuluh menit lagi.”
“Abuya…”sapa Halimah pelan.
“Ada apa Adinda.”
“Apakah Abuya masih mencintaiku?”
“Tentu Adinda. Aku selalu mencintaimu karena Allah.”
“Aku juga mencintaimu karena Allah, Abuya.” Halimah diam sejenak lalu ia bertanya lirih.
“Apakah engkau akan tetap bersabar atas segala yang menimpa kita, Abuya?”
“Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang bersabar, Adinda….”
“Abuya. Jawablah pertanyaanku.”
“Ya. Apa Adinda?”
“Apakah engkau meridhaiku sebagai Istri?”
“Sudah
tentu Adinda. Suami mana pun akan meridhai istri seshaliha dirimu.
Setaat dirimu. Sepatuh dirimu. Kamu bukanlah wanita yang tak memiliki
kekurangan atau kesalahan. Tapi dengan keshalihanmu, ketaatanmu,
kepatuhanmu, aku senantiasa ridha terhadapmu…..”
“Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush shaalihaat. Aku ingin termasuk di antara wanita yang disebutkan dalam Hadits.”
“Bagaimana itu Adinda?”
أًَيُّمَا امْرَ أًَ ة مَا تَتْ وَ زَ جُهَا عَنْهَا رَا ض د خَلَت الْجَنَّهَ
“Wanita mana pun yang meninggal dunia sementara suaminya ridha kepadanya, ia pasti masuk surga.”
Halimah mengucapkan Hadits itu sedemikian fasihnya. Arab, berikut terjemahannya.
“Semua wanita shalihah, mengidamkan hal itu Adinda, dengan izin Allah, Adinda akan termasuk di dalamnya.”
“Allahumma
amien. Abuya, sekarang aku puas. Apaun yang terjadi atas diriku, kini
aku sudah kembali menjadi istrimu. Aku telah berdo’a setiap malam, agar
aku bisa berdampingan dengan suami yang shalih. Sehingga kalaupun mati,
aku akan mati dengan keridhaan Allah kemudian dengan keridhaan
suamiku…..” Halimah berhenti sejenak.
“Abuya,
betapa indahnya bila Allah betul-betul mencintai kita. Aku ingin dengan
cinta-Nya, kita berdua menuai bahagia seutuhnya. Kebahagiaan yang bukan
Cuma di dunia, tapi juga di akhirat.”
Halimah menghela nafasnya yang terasa begitu berat.
“Abuya
bila aku sudah tiada, berjanjilah untuk senantiasa berjalan di atas
ajaran Allah. Didiklah anak kita, dan berbaktilah kepada orang tua….”
“Jangan berkata begitu Adinda….” Rizqaan menyela.
Halimah memberikan isyarat dengan tangannya, agar Rizqaan tidak bertanya apa-apa.
“Berjanjilah Abuya…..”
“Aku
berjanji Adinda. Tanpa berjanji pun, ketaatan kepada Allah adalah janji
seluruh manusia saat mereka berada dalam perut ibu mereka….” ujar
Rizqaan.
“Alhamdulillah…….”
“Abuya….tabir
itu mulai terbuka…..Aku mencintaimu, Abuya. Abuya tak perlu meragukan
cintaku. Tapi aku lebih merindukan Allah. Bila ini kesempatanku bersua
dengan-Nya. Aku tidak akan menyia-nyiakannya sedikit pun…….”
“Adinda….”
“Laa ilaaaha illallah…muhammadurrasulullah……”
“Adinda….”
“Laa ilaaaha illallah…muhammadurrasulullah……”
“Laa ilaaaha illallah…muhammadurrasulullah……”
“Laa ilaaaha illallah…muhammadurrasulullah……”
Suara
tahlil itu semakin lembut dan syahdu dari mulut Halimah. Terus menerus.
Semakin lama, semakin lemah. Namun semakin syahdu. Sampai akhirnya
suara terakhir terdengar, masih sama, “Laa ilaaaha illallah…muhammadurrasulullah……”
Usai
berakhirnya suara itu, nafas Halimah terhenti. Di tengah keheningan
kamar di rumah mereka, yang masih tercium bau catnya. Karena belum lama
dibangun Halimah mengehembuskan nafas terakhirnya. Sang ibu menjerit.
Sang bapak menangis. Rizqaan juga tak kuasa menahan air matanya yang
tiba-tiba mengalir deras. Pernikahannya dengan Halimah yang merupakan
masa kembalinya kebahagiaannya yang beberapa saat nyaris lenyap, kini
nyaris terenggut kembali. Tapi kepergian Halimah dengan kondisi yang
menyemburatkan aurat Surga, membuat hatinya terasa nyaman. Ia bersedih,
tapi juga berbangga dengan istrinya. Kesedihannya pupus perlahan karena
rasa bangga bercampur rasa iri yang menyejukkan jiwanya. Betapa
berbahagia Halimah.
Tak
lama kemudian, adzan maghrib terdengar. Mereka mendengarkannya dengan
khusyu’. Saat lantunan adzan berhenti, Ayah Halimah mendekati Rizqaan.
Ia manatap menantunya yang sekian lama ia kecewakan. Sekian lama ia
perangkap dalam kesukaran dan penderitaan. Pria yang –dengan seizin
Allah- telah mengubah wujud putrinya, sehingga menjelma menjadi wanita
shalihah begitu setia pada kebenaran. Ia menatap pemuda itu. Air matanya
menetes tak terbendung. Penyesalan membuncah sehingga nyaris membakar
otak. Ia nyaris bisu dalam suasana hati yang kuyup penyesalan.
“Duhai,
seandainya aku masih memilki putri yang lain. Pasti aku akan
menikahkannya denganmu, ananda.” Ujar ayah Halimah kepada Rizqaan.
“Halimah sudah cukup bagiku pak. Nikahkanlah aku kembali dengan putrimu itu pak.”
“Aku sudah melakukannya dua kali ananda…..”
“Cobalah untuk yang ketiga kalinya pak…”ujar Rizqaan lirih.
“Itu
bukan lagi hakku ananda. Biarlah Allah yang akan menikahkanmu dengannya
di Surga kelak. Relakanlah kepergiannya saat ini. Semua kita toh pasti
akan mati juga. Gapailah Surga dengan amal ibadahmu. Dengan ketulusan
hatimu. Hanya dengan itu Allah akan berkenan mempertemukanmu kembali
dengannya…..”
Rizqaan tersenyum.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
وَادْخُلِي جَنَّتِي
Hai jiwa yang tenang
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku,
masuklah ke dalam syurga-Ku.****************************************
Penulis: Al Ustadz Abu Umar Basyier
Penerbit: Shofa Media Publika
Tiada ulasan:
Catat Ulasan